Sikap kritis dalam mengkonsumsi antibiotik

on Tuesday, December 30, 2008

HARTONO tak habis pikir. Sepulang dari rumah sakit sehabis perawatan sepekan, ia dijejali 12 jenis obat—sebagian besar jenis antibiotik. Pria 40 tahunan ini dirawat karena ”tumbang” akibat komplikasi penyakit maag akut dan demam berdarah. Hartono—bukan nama sebenarnya—serba salah: obat tak diminum, takut penyakit kambuh. Tapi, kalau ditelan semua, ”Takut ada efek samping,” keluhnya.
Masih banyak pasien lain yang dilanda kebingungan serupa. Ada juga yang mandek minum antibiotik, menganggap tak perlu lagi karena penyakitnya sudah sembuh. Padahal problemnya sebetulnya lebih dari itu. Selain bisa menimbulkan dampak samping, antibiotik bisa menyebabkan kuman jadi kebal. Walhasil, muncullah mikroba baru yang menyebabkan penyakit lain.
Soal antibiotik yang bisa menjadi bumerang bagi kesehatan tubuh bila tidak dikonsumsi secara tepat benar itu menjadi topik penelitian Prijambodo. Dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo, Senin pekan lalu, dia menyampaikan tema ”Peran Laboratorium Mikrobiologi Klinik dalam Upaya Pengendalian Resistensi Mikroba terhadap Antibiotika di Rumah Sakit”.
Ahli mikrobiologi ini menyatakan jenis penyakit yang disebabkan infeksi memang berkurang dari tahun ke tahun. Penyakit yang banyak menyerang di negara berkembang ini belakangan kian tergusur oleh penyakit lain seperti stroke, jantung koroner, dan diabetes.

Jumlah penyakit infeksi menyusut, namun kualitasnya justru meningkat alias lebih berbahaya. Biang keladinya apa lagi jika bukan konsumsi antibiotik yang keliru. Menurut Prijambodo, belakangan sering muncul penyakit baru dengan mikroba yang belum diketahui jelas jenisnya. Banyak juga kasus yang diletupkan oleh mikroba yang sebenarnya pernah dinyatakan hilang namun muncul kembali. ”Misalnya polio yang tiba-tiba merebak lagi,” kata Prijambodo.
Bahkan ada beberapa mikroorganisme yang biasanya menyerang binatang kini juga mulai menjangkiti manusia. Juga banyak ditemukan bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Penyebabnya, ya, penggunaan antibiotik tak tepat itu tadi.
Antibiotik sendiri, menurut dokter spesialis anak Purnamawati S. Pudjiarto, adalah suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu mikroorganisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur. Ada antibiotik spektrum sempit yang digunakan membantai bakteri yang sudah diketahui atau dikenal; ada yang spektrum luas untuk membunuh bakteri yang belum diketahui.

Menurut dokter pendiri Yayasan Orang Tua Peduli ini, pemahaman seperti itu seharusnya menjadi patokan bagi para dokter maupun pasien dalam pemilihan antibiotik. Lagi pula, tak semua keluhan mesti diatasi dengan antibiotik. Sebab, sejak lahir manusia sudah dibekali sistem imunitas yang canggih.
Ketika infeksi menyerang, sistem kekebalan tubuh terlecut untuk bekerja lebih keras. Infeksi karena virus hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh, antara lain dengan makan baik dan istirahat cukup, serta diberi obat penurun panas jika suhu tubuh di atas 38,5 derajat Celsius. ”Kecuali kalau kita punya gangguan sistem imun seperti pengidap HIV dan AIDS,” ujar dokter yang juga pengelola mailing list kesehatan itu.
Adapun Prijambodo menyebut bakteri sebagai makhluk cerdas. Maksudnya, setiap kali diserang antibiotik, si bakteri akan mengeluarkan semacam enzim perlindungan diri yang juga dibagikan kepada sesamanya. Konsumsi antibiotik dalam dosis tepat akan membuat bakteri gagal mengeluarkan enzim, apalagi menyebarkan ke teman-temannya. Namun, jika antibiotiknya salah jenis, kelebihan atau kekurangan dosis, bakteri akan makin ”dermawan” menyebarkan enzim sehingga makin tak mempan dihajar antibiotik.
Penyakit yang ditimbulkan bakteri ini sangat mudah menular dalam lingkungan masyarakat. Lebih gawat lagi, infeksi juga mudah menyebar di rumah sakit. Pasien rawat inap kerap diserang penyakit lain, yang disebut infeksi nosokomial.
Masyarakat sebagai konsumen kesehatan juga ikut memberikan andil dalam permasalahan besar ini. Sering mereka menggunakan antibiotik tanpa mempedulikan dosisnya. ”Banyak yang langsung menghentikan pemakaian antibiotik begitu gejala infeksinya hilang,” kata Prijambodo. Walhasil, bukannya musnah, kuman malah jadi resisten terhadap antibiotik. Padahal penggunaan antibiotik idealnya dilakukan selama tiga hari, untuk memastikan semua bakteri musnah.
Prijambodo mencontohkan orang yang sering ke tempat pelacuran kerap menenggak super-tetra saat tertular gonorrhea. Pengidap penyakit kelamin itu sering berhenti di tengah jalan sebelum obat ini habis. Yang lebih konyol, katanya, ada yang minum super-tetra tiap kali bertandang ke kompleks pelacuran. Akibatnya, kini penyakit gonorrhea tak lagi mempan diberangus dengan super-tetra.
Masalah lunturnya kedigdayaan antibiotik ini sebetulnya telah lama jadi keprihatinan dunia. Pada 1995, The American Medical Association mempersoalkan hadirnya kuman yang kebal terhadap semua antibiotik. Dan tidak semuanya salah si pasien penenggak antibiotik. Dokter pemberinya juga turut memberikan andil.
Banyak tenaga medis yang menyimpulkan pasiennya terkena infeksi hanya berdasarkan pada diagnosis klinis, tanpa disertai diagnosis penyebab atau aspek mikrobiologis. Selain itu, kata Prijambodo, pengobatan dengan penggunaan antibiotik hanya berpegang pada informasi dari perusahaan farmasi. Semua kekeliruan ini berakibat pada penggunaan antibiotik yang tidak tepat sasaran dan justru mengubah pola kuman penyebab infeksi.
Hal serupa dikumandangkan Purnamawati. Selama ini, banyak pasien yang datang ke dokter identik dengan meminta obat. Nah, demi memenuhi tuntutan adanya obat manjur, banyak dokter yang dengan mudah meresepkan antibiotik. Maka antibiotik pun seolah jadi ”obat dewa” yang mujarab. Apalagi bagi pasien kanak-kanak.
Para bocah sangat mudah tertular selesma, batuk, diare, dan gangguan tenggorokan. Umumnya penyakit itu disebabkan virus atau makanan yang banyak mengandung zat sintetis. ”Hanya 15 persen radang tenggorokan yang disebabkan bakteri,” kata Prijambodo. Namun, dalam prakteknya, banyak dokter yang meresepkan antibiotik untuk penyakit anak yang sebenarnya disebabkan virus.
Jalan keluarnya hanya satu: pencegahan resistensi bakteri terhadap antibiotik. Prijambodo menyarankan lembaga medis perlu memiliki laboratorium mikrobiologi klinis yang bermutu dengan standar baku dan jaminan mutu. Selain itu, rumah sakit sebaiknya melakukan pengawasan ketat terhadap perputaran antibiotik di lingkungannya. ”Idealnya, jenis obat antibiotik perlu dibatasi,” kata Prijambodo.
Masyarakat pun harus kritis dalam mengkonsumsi antibiotik. Selain tak boleh ditenggak tanpa pengawasan dokter, antibiotik tak boleh dianggap sebagai ”obat dewa” yang mujarab bagi semua penyakit. Dengan perilaku keliru dalam mengkonsumsi antibiotik, Prijambodo khawatir, makin banyak antibiotik jadi tak berguna, dan makin banyak pula muncul penyakit baru.
Andari Karina Anom, Ahmad Rafiq (Solo)

0 comments:

Post a Comment